Social Icons

Sabtu, 21 November 2015

Peristiwa Tahun Gajah


Inilah Tahun Gajah. Tahun tatkala Abrahah mengirimkan pasukan gajah untuk menghancurkan kabah. Namun, justru merekalah yang dihancurkan. Dilempari oleh burung Ababil dengan batu-batu kecil yang membara hingga mereka tampak seperti daun-daun yang dimakan ulat.

Syahdan, tatkala Abrahah sampai di Thaif, setelah menaklukkan siapapun orang Arab yang berani menghalanginya, dia mengirim seorang Habasyah bernama Al-Aswad bin Maqshud ke Mekkah. Utusan Abrahah tersebut menjarah harta benda penduduk Mekkah, di antaranya ada 200 ekor milik ‘Abdul Muththalib. Hasil jarahan tersebut dibawa ke hadapan Abrahah.

Abrahah mengirim utusan ke Mekkah. “Tanyakan siapa pemimpin dan pembesar negeri ini!” perintah Abrahah kepada utusannya.

Di Mekah, utusan tersebut mendapat jawaban, “’Abdul Muththalib”. Bertemulah utusan tersebut dengan ‘Abdul Muththalib.

“Sesungguhnya raja kami berpesan,” kata utusan itu kepada ‘Abdul Muththalib, “kami datang bukan untuk memerangi kalian. Kami hanya akan menghancurkan kabah.”

Demikianlah memang, Abrahah hanya berniat menghancurkan kabah tanpa mengusik penduduk Mekkah. Lalu apa jawaban pemimpin penduduk Mekkah?

“Demi Allah,” kata ‘Abdul Muththalib, “kami pun tidak akan melawannya. Kami tidak punya kekuatan untuk itu. Ini adalah rumah Allah yang mulia dan rumah khalil-Nya, Ibrahim. Kalau Allah membela rumah-Nya dari serangan rajamu, itu memang rumah-Nya dan milik-Nya yang mulia. Akan tetapi, kalau Allah membiarkannya dihancurkan oleh rajamu, maka demi Allah, kami tidak punya kemampuan untuk membelanya.”

‘Abdul Muththalib menyadari kekuatan Abrahah dengan tentara gajahnya. Tak mungkin penduduk Mekkah bisa menahan serangan pasukan Abrahah. Ia pun menyerahkan nasib kabah kepada pemiliknya, yaitu Allah.

‘Abdul Muththalib datang menemui Abrahah. Begitu melihat ‘Abdul Muththalib, Abrahah memberi hormat dan memuliakannya. Abrahah turun dari singgasananya dan duduk di atas hamparan, berdampingan dengan ‘Abdul Muththalib. Lalu, terjadilah perbincangan antara dua pemimpin tersebut.

“Apa keperluan Anda?” tanya Abrahah.
‘Abdul Muththalib menanyakan unta-unta miliknya yang dijarah utusan Abrahah. Ia ingin miliknya tersebut dikembalikan.

Abrahah terhenyak. Disangkanya, ‘Abdul Muththalib akan membincangkan Kabah dan memohon kepadanya agar tidak menghancurkan Kabah. Abrahah pun memandang rendah kepada ‘Abdul Muththalib karena hanya mementingkan unta-untanya dan tidak mempedulikan Kabah.

“Tadi aku benar-benar kagum kepada Anda, ketika aku melihat Anda,” kata Abrahah. “Tapi setelah Anda berbicara barusan, aku tidak tertarik lagi kepada Anda. Mengapa Anda membicarakan soal dua ratus ekor unta yang aku rampas dari Anda, dan tidak peduli dengan Bait (Kabah) yang merupakan agama Anda dan agama nenek moyang Anda? Aku datang kali ini benar-benar untuk menghancurkannya. Mengapa Anda sama sekali tidak membicarakan sola rumah itu?”

“Saya ini pemilik unta-unta itu,” kata ‘Abdul Muththalib. “Adapun rumah itu ada pemiliknya yang akan melindunginya.”

Itulah jawaban ‘Abdul Muththalib. Ia yakin bahwa Allah akan melindungi rumah-Nya. Ia sendiri merasa tidak mampu melindungi Kabah, meski seluruh penduduk Mekah berdiri di sampingnya. Ia pun hanya melindungi apa yang ia mampu, yaitu unta-unta miliknya. Kabah ialah milik Allah. Allah pasti melindunginya. Begitu keyakinan ‘Abdul Muththalib.

Abrahah mengembalikan unta-unta milik ‘Abdul Muththalib, kemudian bersiap-siap untuk memasuki Mekah dan menghancurkan Kabah.

‘Abdul Muththalib menyuruh penduduk Mekah untuk mengungsi agar tidak menjadi korban pasukan Abrahah. Bersama beberapa orang Qurays, ‘Abdul Muththalib berdiri dan memegang ambang pintu Kabah. Mereka berdoa kepada Allah memohon pertolongan dan perlindungan.

‘Abdul Muththalib mengumandangkan sebuah syair:
Tidak ada kebimbangan. Sesunggunya seseorang telah
mempertahankan rumahnya, karenanya pertahanlah rumah-Mu.
Kekuatan dan tipu daya mereka tidak akan pernah dapat
mengalahkan tipu daya-Mu untuk selamanya.

Pagi harinya, tatkala Abrahah bersama pasukannya telah bersiap-siap, tiba-tiba datanglah burung-burung Ababil dari arah Laut Merah. Masing-masing burung tersebut membawa tiga butir batu: satu butit di paruh dan dua butir di kedua cakar kakinya.

Burung-burung Ababil melempari pasukan Abrahah dengan batu. Siapa pun yang terkena batu tersebut tidak ada yang selamat. Sebagian besar pasukan Abrahah tewas, sedangkan sebagian kecil selamat dan melarikan diri, termasuk Abrahah. Abrahah yang terluka bersama beberapa pasukannya melarikan diri ke Yaman. Kemudian Abrahah tewas di sana.
Apakah kamu tidak memperhatikan bagaimana Tuhanmu telah bertindak terhadap tentara bergajah? Bukankah Dia telah menjadikan tipu daya mereka (untuk menghancurkan Ka'bah) itu sia-sia? Dan Dia mengirimkan kapada mereka burung yang berbondong-bondong. Yyang melempari mereka dengan batu (berasal) dari tanah yang terbakar. Lalu Dia menjadikan mereka seperti daun-daun yang dimakan (ulat).” (QS. Al-Fil: 1-5)

Itulah peristiwa besar di Tahun Gajah. Pada tahun itu pula terjadilah peristiwa besar lainnya. Yaitu kelahiran Nabi Muhammad, tepatnya pada hari Senin, 9 Rabi’ul Awal. Dalam penanggalan Masehi bertepatan dengan tanggal 20 atau 22 April 571 M.

***
Referensi:
Ibnu Katsir. Tafsir Al-Qur’anil ‘Adzim. Terjemahan: Tafsir Ibnu Katsir. 2012. Jakarta: Pustaka Imam Syafi’i

Ridho,
Muhammad. Muhammad. Terjemahan: Sirah Nabawiyah. 2010. Bandung: Penerbit Irsyad Baitus Salam)

Al-Mubarakfury,
Shafiyyurrahman. Ar-Rahiqul Makhtum. Terjemahan: Sirah Nabawiyah. 2010. Jakarta: Pustaka Al-Kautsar)


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

 
Blogger Templates